Banyuwangi (12/7), SMAN 1 Glagah mengawali kegiatan belajar mengajar dengan keikutsertaan guru-guru Bahasa Indonesia dalam MGMP di Tamansari Resto (11/7).
Kegiatan awal ini diisi dengan sharing informasi yang sudah diperoleh sebagian guru saat Bimtek.
Tri Agus mendesiminasikan hasil Bimtek (Bimbingan Teknis) penyusunan Dupak dan pengembangan Karier. Berdasarkan Permen PAN 2009, tidak ada guru yang golongan II. Guru hanya memiliki empat jabatan, yakni, guru pertama (golongan III a, III b), guru muda (III c, III d), guru madya (IV a, IV b, IV c), dan guru utama (IV d, IV E). Guru yang sertifikasi harus memenuhi syarat, diantaranya syarat dokumentasi dan syarat proses PK (Penilaian Kinerja) guru. Syarat dokumentasi yakni: sertifikat pendidik, S 1 berasal dari perguruan tinggi minimal akreditasi B, S-1 diakui pada unsur pertama meski tidak linier. Misalnya guru kelas dengan S-1 Matematika, memiliki sertifikat pendidik sebagai guru kelas. Guru dengan ijazah S-2 atau S-3 yang perkuliahannya Jumat-Ahad, hendaknya memiliki izin belajar (surat keterangan) dari gubernur/bupati/kepala daerah/kepala dinas jika dimasukkan dalam proses PKG.
Dalam pengajuan Dupak melampirkan syarat, dokumen dan bukti fisik. Syarat dokumen antara lain, SK terakhir, PAK (Penilaian Angka Kredit), PAK penyesuaian, PPK (Penilaian Prestasi Kinerja), SK penyesuaian jabatan. Syarat bukti fisik yakni, legalisasi ijazah, STTP (sertifikat prajabatan), SK, laporan, Dupak sebelumnya, sertifikat, piagam. Bukti fisik melakukan pengembangan diri berkelanjutan adalah surat tugas, sertifikat, laporan kegiatan. Pengembangan profesi berupa KTI, alat peraga, karya seni, bahan belajar, modul, LKS, UKBM. Sementara karya inovasi bisa berupa buku.
Mulai tahun depan (2019) guru yang memproses kenaikan pangkat wajib mengikuti uji kompetensi sebagai syarat utama sebelum menyiapkan dokumen kelengkapannya.
Mulyati, guru Bahasa Indonesia Singokuruh mendesiminasikan Pembelajaran Siswa Tunarungu pada Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif Pendidikan Menengah. Pendidikan inklusif adalah bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menyatukan anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak normal pada umumnya untuk belajar. Tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusif ini: 1) Supaya tidak ada deskriminasi antara ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) dengan anak normal; 2) Berkembangnya kepercayaan pada diri anak, merasa bangga pada diri sendiri atas prestasi yang diperolehnya; 3) Anak mampu berinteraksi secara aktif bersama teman-temannya, guru, sekolah, dan masyarakat; 4) Anak dapat belajar untuk menerima adanya perbedaan, dan mampu beradaptasi dalam mengatasi perbedaan tersebut.
Dasar hukum penyelenggaraan sekolah inklusif ini adalah UUD 1945 (amandemen) pasal 31 Ayat(1): “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, Ayat(2): “setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”, UU No. 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional pasal 5, UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak Pasal 48, Pasal 49, UU No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat pasal 5, Permendiknas No. 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa.
Anak Berkebutuhan Khusus dalam pendidikan memerlukan pelayanan khusus yang berbeda dengan anak normal. Anak dikatakan ABK jika ada sesuatu yang kurang atau lebih dalam diri peserta didik. ABK dibedakan menjadi dua, bersifat temporer (sementara) adalah ABK yang disebabkan oleh faktor eksternal (kondisi dan situasi lingkungan), contoh: miskin, korban bencana alam. ABK bersifat permananen (menetap) adalah anak-anak yang mengalami hambatan belajar yang bersifat internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, seperti tunarungu, tunanetra, tunadaksa, tunalaras, dll.
Pembelajaran terhadap ABK membutuhkan keprofesionalan dan guru sebisa mungkin menggunakan metode dan pendekatan yang sesuai. Perlu adanya kontak hati, berbicara dari hati ke hati, pembelajaran yang memanfaatkan alat peraga baik visual, nonvisual, visualisasi (komunikasi yang divisualisasikan bersama baik berupa gerakan ataupun bahasa isyarat). Selain itu pendidik lebih menekankan untuk lebih banyak berinteraksi dengan siswa sehingga selain pembendaharaan kata pendidik lebih memupuk kepercayaan diri peserta didik untuk menyampaikan pendapat dan berkomunikasi agar bisa banyak berbicara atau berinteraksi. Pertanyaan yang belum terjawab yakni, ‘Apakah bentuk dan instrumen penilaian, laporan belajar, besaran nilai disamakan dengan peserta didik lain (yang normal)?’ sudah yang ke sekian kali sebagai persiapan pembelajaran.