TIGA JUARA DIREBUT DI BULAN MARET

Mengawali Maret 2019 para peserta didik SMAN 1 Glagah Banyuwangi menorehkan prestasi di tingkat Kabupaten Banyuwangi. Tidak tanggung-tanggung, mereka berhasil menyabet juara 1 Lomba Menulis Esai, juara 3 Lomba Debat Bahasa Indonesia yang diraih oleh tim 1, dan juara kategori the best argument diraih oleh tim 2.

Juara 1 Lomba Menulis Esai berhasil dipersembahkan oleh Amirah Belqis Ranashiba Al-Adilah. Dalam esainya Amirah menarasikan pentingnya merevitalisasi program SMART Kampung yang telah dicanangkan oleh Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, beberapa tahun silam. Amirah merasakan kegalauan bahwa program brilian tersebut terasa mandeg. Dia menawarkan berbagai inovasi dalam program SMART Kampung untuk dielaborasi oleh stakeholders. Inti misinya adalah agar program tersebut bisa terus berlanjut dan berkembang lebih baik lagi serta mampu mengangkat nama Banyuwangi di tingkat nasional dan internasional.

Hal yang menarik, dari juri lomba esai diperoleh informasi bahwa kriteria esai yang ditetapkan oleh panitia Lomba Esai, menyimpang dari ketentuan bagaimana seharusnya esai ditulis. Panitia oleh juri dinilai tidak memahami apa itu esai sehingga membuat ketetapan aturan esai yang salah. Banyak naskah esai yang masuk justru tidak dalam format esai, tetapi berupa karya tulis ilmiah.



Juara 3 Lomba Debat Bahasa Indonesia dipersembahkan oleh tim 1 terdiri atas Ferry Febrian, Alfina El Damayanti, dan Adrio Ananta Wibawa; sedangkan juara kategori the best argument diraih oleh tim 2 yang terdiri atas Kamal, Jihan Aurora Zahro, dan Regeta Salsabilah Putri Hany.

Ada sekelumit catatan “menarik” dalam Lomba Debat Bahasa Indonesia yang diselenggarakan oleh IAIDA Blok Agung kali ini, yaitu terkait dengan proses debat. Umumnya dalam setiap lomba debat, peserta debat diberi hak untuk melakukan interupsi, dalam lomba debat yang diikuti oleh sembilan tim kali ini, hak melakukan interupsi itu ditiadakan oleh panitia dengan alasan yang tidak jelas. Selain itu, tim pro debat diberi keleluasaan untuk melakukan pembatasan atau limitasi mosi debat pada saat tampil. Cara seperti ini jelas tidak fair play setidaknya bagi tim kontra, sebab penentuan tim pro dan kontra dilakukan secara spontan, dan pada saat tim pro dan kontra diberi kesempatan sepuluh menit untuk melakukan diskusi, tim kontra tidak mengetahui limitasi apa yang ditentukan oleh tim pro. Tim kontra baru mengetahui limitasi tersebut saat proses debat dimulai oleh tim pro. Ini jelas memporak-porandakan berbagai argumentasi yang sudah dipersiapkan oleh tim kontra. Tim kontra bisa blank menghadapi “kelicikan” yang dilakukan oleh tim pro.

Hakikat utama dari penyelenggaraan lomba debat adalah selain melatih peserta didik terampil berkomunikasi di depan publik dan berpikir kritis, juga momentum ini merupakan sarana mengeksplorasi sejauh dan sedalam apa kemampuan literasi para peserta didik tingkat SMA. Jadi, jika dalam sebuah lomba debat tim pro diberi kemewahan oleh aturan panitia untuk melakukan limitasi atau pembatasan mosi tanpa disepakati atau diketahui oleh pihak kontra, jelas ini bertentangan dengan semangat literasi yang mengharuskan peserta debat berpikir luas, bukan sempit.

Ke depan, jika berbagai macam lomba itu masih dilaksanakan, panitia bisa belajar lebih banyak lagi agar penyelenggaraan even lomba tersebut lebih bergizi, berkualitas, dan tentu saja berwibawa (ISM).

Bagikan :

WeCreativez WhatsApp Support
Assalamualaikum....